Selasa, 13 September 2011 - , 0 komentar

To Free the Heart

Ibn Taymiyyah said: Zuhd is to leave alone those things which will not benefit you in the next life.
Sufyaan Ath-Thawri said: Zuhd is to have limited amount of expectations: it does not mean eating poor or inadequate foods as many think, or wearing a cheap gown or cloak.
Ibn Ja’laal said: Zuhd is to know that this life is a temporary one that will pass away; it should not be magnified in ones heart, nor should much focus be placed on it. Rather, on should turn away from it, it is said Zuhd means to refrain from this dunyaa (world), without showing off.
Al-Ju’nayd said: Zuhd means to free the heart from always wanting.
Imaam Ahmad said: Zuhd is not to have too many expectations.
Sulaymaan Ad-Daa’raani said: Zuhd means to leave those things which distract you from Allaah the exalted and high.
Ibn Mubaarak said: It (meaning Zuhd) is having trust in Allaah, and being content in times of poverty.
Abdulwaahid Ibn Zayd said: Zuhd can be practised by a person, even if he only possesses one dinaar or dirham.
Hassan Al-Basri said: Zuhd is not that you make the permissible (things) impermissible or by wasting ones money. But rather Zuhd is that you acknowledge that what Allaah the exalted has (destined for you) is better then what you have.
(Maadaarij As-Saalikeen by Ibn al-Qayyim Al-Jawziyyah)
Jumat, 09 September 2011 - , 0 komentar

Ucapkanlah Jazakallahu Khairan

Apakah yang seharusnya kita ucapkan bila mendapatkan kebaikan dari seorang muslim yang lain?

Cukupkah ucapan terimakasih?

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah



Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من صنع إليه معروف فقال لفاعله: جزاك اللَّه خيراً، فقد أبلغ في الثناء

“Barangsiapa yang diberikan sesuatu kebaikan, maka hendaknya dia ucapkan ‘Jazakallahu khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu)’ kepada orang yang memberi kebaikan. Sungguh hal yang demikan telah bersungguh-sungguh dalam berterimakasih.”

Jumat, 17 Juni 2011 - , , 0 komentar

Wahai Manusia Lihatlah Hatimu!!

Rosulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang artinya: “Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal darah. jika segumpal darah tersebut baik maka akan baik pulalah seluruh tubuhnya, adapun jika segumpal darah tersebut rusak maka akan rusak pulalah seluruh tubuhnya, ketahuilah segumpal darah tersebut adalah hati.” (Yang lebih benar untuk penyebutan segumpal darah (القلب ) tersebut adalah jantung, akan tetapi di dalam bahasa Indonesia sudah terlanjur biasa untuk menerjemahkan القلب dengan “hati”).

Maka hati bagaikan raja yang menggerakkan tubuh untuk melakukan perbuatan-perbuatannya, jika hati tersebut adalah hati yang baik maka seluruh tubuhnya akan tergerak untuk mengerjakan hal-hal yang baik, adapun jika hatinya adalah hati yang buruk maka tentunya juga akan membawa tubuh melakukan hal-hal yang buruk. Hati adalah perkara utama untuk memperbaiki manusia, Jika seseorang ingin memperbaiki dirinya maka hendaklah ia memperbaiki dahulu hatinya!!!
Ketahuilah, hati ini merupakan penggerak bagi seluruh tubuh, ia merupakan poros untuk tercapainya segala sarana dalam terwujudnya perbuatan. Hati laksana panglima yang memompa pasukannya untuk melawan musuh atau melemahkan mereka sehingga mundur dari medan peperangan. Karena hati disifatkan dengan sifat kehidupan dan kematian, maka hati ini juga dibagi dalam tiga kriteria yakni hati yang mati, hati yang sakit dan hati yang sehat.
Minggu, 15 Mei 2011 - , 0 komentar

Tips Pembuatan Paspor

Persyaratan Permohonan Paspor
A. PERSYARATAN PERMOHONAN PASPOR RI

1. Mengisi formulir permohonan paspor RI dengan benar dan lengkap (perdim 11, yang dapat diperoleh di kantor imigrasi);

2. Melampirkan berkas asli dan foto kopi identitas diri, antara lain ;

§ Kartu Tanda Penduduk (KTP);

§ Akte Kelahiran (KK) dan atau Surat Tanda Tamat Belajar/Ijazah;

§ Surat Kawin/Akte Nikah bagi yang telah menikah;

3. Paspor RI yang lama bagi pemohon penggantian paspor RI;

4. Surat ganti nama (jika direncanakan akan dilakukan perubahan atau pergantian nama)

5. Rekomendasi tertulis dari atasan atau pimpinan bagi mereka yang bekerja sebagai PNS, karyawan BUMN, TNI/Polri atau Karyawan Swasta;

6. Pemohon melakukan pembayaran sesuai ketentuan yang berlaku (Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2007 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI).

Minggu, 08 Mei 2011 - 0 komentar

Perniagaan yang Tidak Akan Merugi

بسم الله الرحمن الرحيم


Semua manusia sepakat, meskipun secara tidak tertulis, bahwa target mereka dalam setiap usaha yang mereka lakukan adalah meraih kesuksesan, mendapat untung dan terhindar dari kerugiaan.

Ironisnya, kebanyakan manusia hanya menerapkan hal ini dalam usaha dan urusan yang bersifat duniawi belaka, sedangkan untuk urusan akhirat mereka hanya merasa cukup dengan ‘hasil’ yang pas-pasan dan seadanya. Ini merupakan refleksi dari kuatnya dominasi hawa nafsu dan kecintaan terhadapa dunia dalam diri mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisyaratkan keadaan mayoritas manusia ini dalam firman-Nya,

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. ar-Ruum: 7).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti (ayat ini): mayoritas manusia tidak memiliki ilmu pengetahuan kecuali dalam (perkara-perkara yang berkaitan dengan) dunia, keuntungan-keuntungannya, urusan-urusan dan semua hal yang berhubungan dengannya. Mereka sangat mahir dan pandai dalam usaha meraih (keberhasilan) dan cara-cara mengusahakan keuntungan duniawi, sedangkan untuk kemanfaatan (keberuntungan) di negeri akhirat mereka lalai (dan tidak paham sama sekali), seolah-seolah mereka seperti orang bodoh yang tidak punya akal dan pikiran (sama sekali).” (Kitab Tafsir Ibnu Katsir, 3/560)

Perniagaan Akhirat


Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan amalan-amalan shalih, lahir dan batin, yang disyariatkan-Nya untuk mencapai keridhaan-Nya dan meraih balasan kebaikan yang kekal di akhirat nanti sebagai “tijaarah” (perniagaan) dalam banyak ayat al-Qur’an.

Ini menunjukkan bahwa orang yang menyibukkan diri dengan hal tersebut berarti dia telah melakukan ‘perniagaan’ bersama Allah Ta’ala, sebagaimana orang yang mengambil bagian terbesar dari perniagaan tersebut maka dialah yang paling berpeluang mendapatkan keuntungan yang besar.

Sabtu, 07 Mei 2011 - 0 komentar

Pagi Hari : Antara Tidur Dan Dzikir

Oleh
Ustadz Ashim bin Musthofa

Pagi hari, tatkala udara masih terasa dingin, menggoda seseorang untuk tetap berdiam di atas ranjang, meski adzan Subuh sudah berkumandang. Atau usai mengerjakan shalat Subuh, seolah betapa nikmat melanjutkan tidur atau bermalas-malasan. Padahal ada satu aktifitas yang semestinya dilakukan seorang muslim pada pagi hari. Yaitu Rasulullah n mengajarkan, agar kita berdzikir pada waktu pagi hari, bukan justru melanjutkan tidur.

Tidur pagi (setelah subuh) bukanlah kebiasaan yang baik. Orang-orang yang dikenal “menyukai” kasur hanyalah para bayi dan orang-orang sakit, serta para pengangguran. Untuk kelompok pertama dan kedua, tidur mereka lantaran karena kondisi. Sementara untuk golongan ketiga, karena tuntutan “profesi” yang dampaknya memupuk kemalasan.

Namun adakalanya, orang yang tidak termasuk dalam golongan di atas, menggandrungi ranjang sehabis shalat Subuh. Bahkan seolah-olah menjadi kurikulum tetap yang tidak bisa diganggu gugat. Oleh karenanya, tulisan ini ingin menggugah semangat kita untuk memulai aktifitas sedini mungkin, di pagi hari yang berudara segar.

Minggu, 01 Mei 2011 - , , , 0 komentar

Fanatik kepada Ulama

(Mengungkap Bahaya Fanatik Mazhab)

Oleh

Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

Definisi Fanatik

Fanatik atau dalam bahasa arabnya disebut dengan “Ta’ashub” adalah anggapan yang diiringi sikap yang paling benar dan membelanya dengan membabi buta. Benar dan salahnya, wala’ dan bara’nya diukur dan didasarkan keperpihakan pada golongan. Fanatik ini bisa terjadi antar madzhab, kelompok, organisasi, suku atau negara. (Lihat kembali Majalah Al-Furqon hal. 13 edisi 5 Th. 11) -majalah yang dikelola Ustadz Abu Ubaidah (editor)-

Adapun madzhab ialah pendapat seseorang mujtahid tentang hukum sesuatu, yaitu pendapat yang digali dari Al-Qur’an dan hadits dengan kekuatan ijtihadnya.
Madzhab yang masyhur ada empat: Madzhab Hanafi (Abu Hanifah rahimahullah), madzhab Maliki (imam Malik rahimahullah), madzhab Syafi’i (imam Syafi’i rahimahullah), madzhab Hanbali (imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah)


Sekalipun sebenarnya ada beberapa madzhab lainnya seperti madzhab Dhahiriyyah, Zaidiyyah, Sufyaniyyah dan sebagainya. Semua madzhab dapat diambil pendapatnya jika benar dan dapat pula ditinggalkan jika salah, karena memang tidak ada yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) kecuali Al-Qur’an dan sunnah Nabi. (Lihat Syarh Lum’ah Al-I’tiqad hal. 166-167 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah).

Fenomena Fanatik Mazdhab

Fenomena fanatik madzhab sangat nyata terpampang tak terelakkan, baik dalam lembaran kitab madzhab klasik dan kontemporer maupun dalam fakta kehidupan. Muatannya sesak dengan saling tuding-menuding, menghujat, dan mencela satu sama lain sehingga memantapkan kita semua bahwa klaim mereka selama ini “semua madzhab adalah benar” hanyalah omong kosong belaka yang tidak ada buktinya.